Catatan Perjalanan :
Dari New
Orleans Ke Kendal
10.
Jika Harus Kembali Memainkan Lakon Emergency
Tiba-tiba serasa
dapat durian Bangkok runtuh yang tanpa kulit, ketika sekitar jam
06:45 saya lihat ada petugas di dalam kantor TG menuju pintu
depan. Sebenarnya dia bukan mau buka kantor, melainkan mengambil
koran pagi yang diselipkan sama lopernya di bawah pintu. Melihat
ada peluang, sengaja saya lalu berdiri mendekat pintu agar
terlihat dari dalam. Benar juga, saya lalu dibukakan pintu dan
ditanya keperluannya apa oleh petugas kantor yang saya taksir
usianya sudah menjelang pensiun, yang agaknya orang Thailand.
Mulailah saya
berakting sedramatis mungkin, bahwa saya perlu bantuannya agar
tiket TG saya bisa dibuatkan endorsement untuk pesawat
yang lebih awal menuju Jakarta. Tentu dengan alasan emergency.
Alhamdulillah, tanpa banyak kesulitan dan tanya
macam-macam, endorsement bisa dibuatkan. Tiket TG saya
distempel, ditandatangani, lalu saya ditanya mau pakai pesawat
apa.
Mempertimbangkan
saat itu sudah menjelang pukul 7:00 pagi, pasti pesawat GA sudah
kabur, tidak terkejar. Langsung saya mintakan dengan pesawat SQ.
Tentu ucapan thank you tidak saya lupakan (Ada
keinginan untuk mengucapkan kap kun kah,
seingat saya itu bahasa Thai-nya terima kasih, biar sok akrab,
tapi saya takut salah, nanti malah dadi gawe. Saatnya
tidak tepat, pikir saya) bahkan tidak cukup sekali saya ucapkan
kata thank you.
Seperti dikejar
setan, saya langsung terbirit-birit menuju bagian check-in
SQ, agar bisa mengejar pesawat pertama menuju Jakarta yang
dijadwalkan berangkat pukul 7:00 pagi.
Sampai di sana
ternyata saya mesti antri. Melihat kenyataan itu, dalam hati saya
berpikir berarti pesawatnya belum berangkat, barangkali agak
molor. Hal yang tidak saya sukai, tapi kali itu justru
menguntungkan. Ketika tiba giliran mau check-in, saya
ingat bahwa status kursi saya sewaktu di Tokyo masih belum OK.
Maka terpaksa saya mainkan lagi pentas lakon emergency.
Di depan petugas counter
yang tampangnya seperti pemuda Cina berkacamata, saya dahului
nerocos bahwa saya sedang dalam perjalanan emergency,
bla
bla
bla
, dan seterusnya. Ujung-ujungnya minta
tolong agar bisa berangkat ke Jakarta dengan pesawat pertama SQ.
Agaknya berhasil,
terbukti sang petugas cukup lama mencermati tiket kelas bisnis
dan paspor saya sambil pencet-pencet tombol komputer di depannya.
Saya perhatikan sampai dua kali dia bolak-balik berkonsultasi
dengan supervisor-nya yang berada tidak jauh di
belakangnya.
Di menit-menit
terakhir menjelang pesawat berangkat, seat saya di-OK-kan,
meskipun disertai permintaan maaf karena saya hanya bisa terbang
di kelas ekonomi karena kelas bisnis sudah habis. Hati saya
berbunga-bunga, lha wong saya yang memaksa terbang, kok
dia yang minta maaf. Barangkali itulah bahasa bisnis.
Lalu bagaimana dengan barang bawaan saya? Apakah tas saya masih cukup waktu untuk dibagasikan? Dengan sangat meyakinkan petugas itupun menjawab silahkan saja. Saya masih ragu, saya tanya lagi apa tidak terlambat? Dengan sopan dijawabnya tidak. Nanti akan ada petugas SQ yang mengurusnya, dan saya dipersilahkan tinggal ambil di Jakarta. Saya hanya berharap mudah-mudahan ucapannya benar.
Entah saya dapat
energi dari mana, yang jelas setelah dapat kartu boarding,
cepat sekali saya bergerak menuju gate yang telah
ditentukan, dan puluhan orang telah saya salip sambil sesekali
mengucap excuse me. Sambil agak malu saya
masuk pesawat, karena di sana ternyata saya sudah ditunggu orang
sepesawat termasuk pilot dan pramugarinya yang berseragam khas.
Lha kok ternyata benar, saya tiba di
Jakarta bersama-sama dengan bagasi saya. Luar biasa, saya
benar-benar gumun. Bagaimana mereka mengurusi sebuah tas
yang cukup berat di menit-menit terakhir sebelum pintu pesawat
ditutup, sementara kegiatan di bandara Changi pagi itu sudah
sangat sibuk. (Bersambung).
Yusuf Iskandar